Assalamu’alaikum wr wb
Setiap pemberian kepada pejabat atau pemegang posisi tertentu yang memiliki otoritas publik dan kewenangan berlangsung setelah menjabat dinas atau posisi tertentu yang sebelumnya tidak ada kebiasaan saling tukar hadiah atau hibah karena hubungan kekerabatan, persahabatan, ataupun tali kasih lainnya – demikian pula bila ada indikasi timbulnya hibah dan peningkatan nilai hadiah, baik dalam skala besar maupun kecil bagi yang sebelumnya terjalin kekerabatan ataupun persahabatan karena memandang jabatan tersebut – maka hal itu dapat dikategorikan sebagai praktik risywah yang merupakan salah satu bentuk penyakit sosial atau perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak dibenarkan dalam ajaran islam bahkan dilaknat atau dikutuk oleh nabi Muhammad SAW. Syari’at islam mengharamkan praktik risywah sebagaimana melarang pengambilan harta yang bukan haknya secara bathil (QS.Albaqoroh.188).
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Risywah berasal dari bahasa Arab (rasya, yarsyu, risywah) yang berarti sogokan, suap, uang tempel, uang semir, hadiah atau hibah pada pejabat public ataupun pada pihak yang berwenang. Pengertian demikian sesuai dengan pendapat Imam Al-Jurjani ahli bahasa dan fiqih (740 H – 816 H) yang melihatnya sebagai pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan sesuatu yang hak atau membenarklan yang bathil. Secara umum, menurut para Ulama, risywah adalah segala bentuk pemberian yang bertujuan sebagai rayuan untuk mencapai suatu tujuan. Risywah merupakan pemberian yang pada hakikatnya tidak didorong niat tulus ikhlas untuk mencapai ridho Allah. Rasulullah juga melarangnya. “ Rasul mengutuk penyogok, penerima sogokan dan broker perantaranya. ” (HR. Ahmad dan Hakim).
Adapun pengertian Hibah pada prinsipnya berarti pemberian atau hadiah yang menurut syariah semestinya dilakukan secara sukarela dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa protensi dan tidak mengharapkan balasan apapun kecuali dari Allah semata. Pada umumnya, mayoritas ulama mendefinisikannya sebagai akad pemindahan kepemilikan harta secara cuma-cuma dan sukarela yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada seseorang. Jadi, penyerahan hibah dilakukan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan pamrih kepada manusia.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Ulama fiqih sepakat bahwa hukum hibah adalah sunnah (QS.An-Nisa.4, dan Albaqoroh.177).
Sabda Nabi SAW : “Saling memberi hadiahlah kamu dan salinglah mengasihi” (HR.Bukhori).
Hibah dikatakan sah menurut syariah :
1. Bila penghibah dan penerima hibah cakap hukum tanpa paksaan langsung maupun tidak langsung.
2. Harta hibah tersebut memang ada, halal dan kepemilikannya secara penuh.
3. Akad hibah tersebut tidak ada indikasi suap dan tidak berimplikasi kolusi.
Menurut Ulama, akad hibah itu tidak mengikat sehingga pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya sebagaimana sabda Nabi saw, ”Orang yang menghibahkan harta lebih berhak terhadap hartanya, selama hibah itu tidak dibarengi penyerahan kompensasinya.” (HR.Ibnu Maajah).
Suatu hari Ibnul-Lutaibah, seorang pejabat pemungut zakat, datang menghadap kepada Rasulullah saw. Melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat dengan mengatakan, ”Ini untukmu dan yang ini telah dihadiahkan (dihibahkan) kepadaku.!”Rasulullah saw, seketika tersentak mendengar laporan pendapatan zakat dari Amil beliau yang berasal dari suku Uzdi tersebut. ”Dengan penuh geram dan heran Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya mengatakan, ”Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan ,’Ini untukmu (Wahai Rasulullah) dan yang ini telah dihadiahkan untukku! Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah ataukah tidak?’ Lanjutnya, ’Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun diantara kalian membawa sesuatu pun dari hadiah-hadiah hibah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban di atas tengkuknya pada hari kiamat!’” (HR. Ahmad).
Hadist ini mengisyaratkan betapa Rasulullah saw, selengkapnya >>
Kamis, 07 Mei 2009
RISYWAH dan HIBAH oleh : Achmad Mucholif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
salam kenal .jadi tahu pertolongan pertama,klik blogku
http://udtrijayaku.blogspot.com
Posting Komentar
Assalamu'alaikum, silakan tinggalkan pesan Anda untuk kami: